Website Produk Herbal Pria | Rekomendasi Boyke Dian Nugraha
  • PRODUK HERBAL PRIA
    • LAFORTA
    • efek samping laforta
    • Khasiat Laforta
    • FOREDI >
      • Cara Pakai Foredi
      • Testimoni Foredi
    • Manfaat Foredi
    • EFEK SAMPING FOREDI
    • Harga Foredi
  • Produk Wanita
  • Contact Us
    • Foredigel
  • Obat Kuat Pria
  • Layanan GOJEK
  • Boyke Dian Nugraha

Suamiku

2/8/2016

 

Aku Benci Suamiku

Picture
Aku membencinya...... Itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, Aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, Membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun me
mbencinya, Setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.

Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, Aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku.​

Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, Akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, Aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, Aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, Aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, Aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, Aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, Tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, Dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, Ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahunsebelumnya, Saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu.

Yaah, Karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, Aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, Biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, Ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu Seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, Akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon. Namun betapa terkejutnya aku, Ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan.

Aku menelepon suamiku dan bertanya, “Maaf sayang, Kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara.
Tak lama kemudian, Handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, Akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”“Sayang, Aku pulang sekarang, Aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , Kuatir Aku menutup telepon kembali.
​

Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, Aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.
Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, Aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon.
 
Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, Terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri,“Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?”Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, Ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.
 
Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku.
 
Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, Serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.
 
Selesai mendengar kenyataan itu, Aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada air mata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
 
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, Aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.
 
Air mata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar air mata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, Aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, Air mataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, Tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
 
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental.
 
Dadaku sesak mendengarnya, Karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Ia pun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
 
Saat pemakaman, Aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya.
 
Di hari-hari awal kepergiannya, Aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, Aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu dirumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.
 
Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, Tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, Tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.
 
Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, Sekarang aku memandangi komputer, Mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, Sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, Sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote.
 
Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, Aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, Tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.
 
Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, Meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, Meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belakan, Hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
 
Empat puluh hari setelah kematiannya, Keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.
 
Dari kantor tempatnya bekerja, Aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, Ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana ? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
 
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, Ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
 
"Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, Aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja.
 
Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, Ya sayang. Jangan menangis, Sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
 
Teruntuk Farah, Putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu.Dan Farhan, Ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke!!!!!!"
 
Aku terisak membaca surat itu, Ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya.
 
Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, Sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak- anakku. Ketika orang tuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, Tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
 
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikah dengan seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
 
Aku merangkulnya sambil berkata, “Cintailah sayangku, cintailah suamimu, Cintailah pilihan hatimu, Cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, Kau akan belajar menyenangkan hatinya, Akan belajar menerima kekurangannya, Akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, Kalian akan menyelesaikannya atas nama CINTA.”
 
Putriku menatapku, “Seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”Aku menggeleng, “Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, Seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
 
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, Tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, Tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
CINTAILAH ORANG YANG MASIH MENJADI MILIKMU HARI INI KARENA MUNGKIN KETIKA DIA PERGI MENINGGALKANMU, KAMU AKAN LEBIH MENCINTAINYA 

Pemuja

2/7/2016

Comments

 

​Pemuja Rahasia

-Pukul 11:30 WIB, di Sentiong
Siang itu begitu terik, panas matahari sangat terasa menusuk ke dalam kulit. Namun, ada pemandangan aneh di salah satu makam baru yang ada di bawah pohon rindang dekat pagar pembatas itu, di sana tampak seorang pemuda dengan baju serba hitam mulai dari atasan hingga bawahan pakaiannya, nampak jelas sekali bahwa pemuda itu sangat berduka atas kepergian orang yang terbaring di makam itu. Sebuah makam baru, yang jika aku tak salah ingat, itu adalah makam seorang gadis muda nan cantik, yang meninggal karena insiden yang sama sekali tak pernah terbayangkan oleh semua teman, keluarga, bahkan orangtuanya. Setahuku, gadis itu meninggal saat ia sedang berlibur ke salah satu objek wisata sungai di daerah Bengkulu Utara.
Saat itu, -dari apa yang ku dengar- ketika ia sedang berenang bersama teman-teman dan semua orang yang juga sedang berwisata ke sana, tiba-tiba debit air sungai naik dan arus besar menyapu semua orang yang berada di aliran sungai itu, sehingga gadis itu, dan juga masih banyak orang lainnya hanyut dan terbawa arus sungai. Naas bagi gadis itu, ternyata itu adalah saat-saat terakhir gadis itu bersama dengan teman-temannya, karena saat dia ditemukan oleh Tim SAR yang dibantu warga setempat, dia sudah terbujur kaku dengan luka lebam di sekujur tubuh, yang ku yakin itu disebabkan oleh benturan dengan bebatuan besar yang tersebar di seluruh tubuh sungai.

Telah lama sudah aku melihat pemuda itu berlutut di samping makam, tak kurang dari 60 menit sudah berlalu, sejak ku lihat pemuda itu datang dengan membawa seikat bunga melati putih dengan baunya yang khas hingga tercium olehku yang berjarak sekitar 2 meter dari tempat pemuda itu. Kulihat, saat tadi dia datang dan berlutut di samping makam itu, saat dia mulai membacakan doa, terlihat dari sudut matanya menetes perlahan titik-titik air mata yang mengalir di pipi merahnya -karena terbakar terik matahari. Sesekali ku lihat ia juga mengelap air matanya dengan sehelai tisu, sementara sayup-sayup ku dengar ia mengucapkan kata, “Aku tidak menangis, kan kamu sendiri yang mengajari aku bahwa aku harus selalu kuat dalam menghadapi liku kehidupan, apa pun yang terjadi.”

Aku tahu ia berusaha untuk tegar dan menerima takdir bahwa ia sudah tidak bisa lagi bertemu dengan orang yang namanya tertulis di nisan makam itu. Sepertinya dia sangat terpukul atas kepergian gadis itu, hal itu terlihat jelas terlebih saat tadi ia mengelap nisan makam gadis itu dan sesekali menciumnya. Suatu hal yang lazim dilakukan oleh orang yang merasa sangat merindu atas kepergian orang yang disayanginya. Apalagi memang gadis itu masih teramat muda dan berparas begitu cantik serta setahuku dia, almarhumah dahulunya adalah salah satu anggota Purna Paskibraka Indonesia (PPI) tingkat Provinsi Bengkulu.

Sebuah prestasi yang sangat membanggakan dan sebuah predikat yang ramai diincar oleh banyak teman-temannya yang lain. Ku rasakan sinar matahari semakin terik, jadi, aku memutuskan untuk mencari tempat agar aku bisa berangin dan mendinginkan kepalaku yang terasa panas karena sorotan matahari di musim kemarau. Tak lama waktu berselang, ku lihat pemuda itu mulai berdiri dan sepertinya hendak beranjak dari makam gadis itu. Ku lihat dia berpamitan kepada gadis yang terbaring di makam itu, dan sekali lagi, dia mencium nisan putih itu dan perlahan membalikkan badannya berlalu meninggalkan makam.

Gerak kakinya yang lamban menuturkan kalau dia sangat berat untuk pergi dan meninggalkan gadis itu sendiri. Namun, setelah ia berdiri terdiam, sekarang dia telah menentukan satu arah untuk berjalan, dan ku lihat, dia berjalan menuju sebuah bangku panjang yang diduduki seorang pemuda yang berada tak jauh dari makam gadis itu. Dia berjalan ke arahku. Dengan sedikit menunjukkan senyumnya, dia bertanya kepadaku.

“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya.
“Oh.. tentu.. tentu saja. Adam juga pasti akan senang jika aku berbagi tempat duduk dengan orang lain..” jawabku.

“Ohh, maaf, kalau aku boleh bertanya, Adam, apakah dia orang yang spesial untukmu?” tanya pemuda itu.

“Iya, dia adalah sahabat karibku, kami mulai berteman sejak aku pindah ke Bengkulu, waktu itu kelas 2 SD. Jika pada umumnya anak baru di sebuah sekolah mendapatkan banyak teman, berbeda denganku, hari pertama aku masuk sekolah baruku, aku langsung mendapatkan musuh, dialah Adam Leelawadee, dia juga merupakan anak pindahan sama sepertiku, Ayahnya asli Bengkulu, sedang Ibunya asli Ambon. Namun, akibat disorganisasi keluarga, dia menjadi anak yang nakal, dan pembuat onar di sekolah.”
​
“Meskipun begitu, aku tidak pernah dendam, malah, aku berusaha untuk menjadi teman dekatnya, meskipun sulit, tetapi akhirnya aku bisa melunturkan keras hatinya, aku bisa menjadi temannya dan, menjadi sahabat dekat yang senantiasa menjadi mata dan telinganya, menjadi teman dan kakaknya. Sampai waktunya tiba, dia harus kembali kepada Pencipta kehidupan. Dia dipanggil oleh Tuhan saat dia berusia 16 tahun.”
“Saat itu kelas dua SMA, selama kami menjalin pertemanan, baru saat itulah aku tahu, bahwa dia memiliki prinsip tidak ingin merepotkan orang lain, selama kurang lebih 8 tahun kami berteman, ia tidak pernah sama sekali menceritakan kepadaku tentang penyakit yang dideritanya. Barulah saat ia tiba-tiba pingsan dan digotong ke Rumah Sakit, di sanalah aku tahu kalau selama ini dia menderita kanker darah, dokter bilang kalau Adam telat dua bulan dari jadwal biasanya untuk cuci darah, sehingga ia tak bisa tertolong lagi…”

Aku berhenti sejenak, tak kuasa mengingat kenangan masa lalu yang baru saja melintas di depan mataku. Dan tak terasa air mataku mengalir sendiri tanpa ku sadari, mengingat kenangan yang begitu manis namun pahit di akhirnya. Aku menghela napas panjang sebelum kemudian melanjutkan kembali ceritaku yang tadi, aku lihat dia masih dengan setianya menungguku menyelesaikan cerita, sepertinya dia tahu bahwa aku merasakan apa yang dia rasakan tadi saat dia berada di samping makam gadisnya. Setelah merasa cukup tenang, aku melanjutkan sedikit sisa ceritaku yang belum ku selesaikan.

“Dia, Adam, sudah mengajarkan aku banyak hal tentang cara untuk menjalani hidup dengan ikhlas, tanpa perasaan terpaksa. Dia adalah motivator, dia adalah inspirasiku, aku banyak belajar dari perjalanannya, bagaimana dia merubah 360 derajat kehidupannya, dari yang awalnya anak nakal, ketika remaja dan dewasa ia berubah menjadi pribadi yang baik, ramah, taat beribadah, dan sangat santun. Karena itulah, aku sangat menghormati sahabatku itu, aku selalu ke mari saat aku merasa rindu dan saat aku membutuhkan bantuannya untuk melewati setiap kesukaran hidup yang aku temui. Meskipun sekarang dia tak ada di sampingku, tapi, aku merasa aku selalu bisa mendengar suaranya, karena itulah, aku tidak pernah merasa terpisah darinya..”

Sekarang aku sudah selesai menceritakan kisah menyenangkan yang aku alami bersama sahabatku itu, ku lihat dia tersenyum, senyum yang begitu ikhlas, entah karena ia ikut merasakan apa yang aku rasakan, atau dia mencoba untuk menghiburku agar aku tidak terlalu larut dalam kesedihan seperti yang selalu dia lakukan sedari tadi. Tak banyak pikirku, aku ikut tersenyum kepadanya, dan sesaat kemudian aku memberanikan untuk bertanya kepadanya tentang hal yang sedari tadi membuatku penasaran, aku ingin tahu, siapa sebenarnya gadis cantik yang terbaring di makam itu.
“Mmm.. maaf kalau aku lancang ingin tahu, tapi, boleh aku tahu siapa gadis yang tadi kamu temui?” tanyaku.

Sambil menyunggingkan senyumnya, pemuda itu menjawab, “Dia, Elsa, sahabat sekaligus wanita yang begitu spesial untukku, aku memang bukan siapa-siapa baginya, hanya mengetahui sebatas nama dan kelas, karena kami satu sekolah dan satu tingkatan..” katanya. Pemuda itu menghentikan ceritanya, dan menatap ke hamparan langit biru nan cerah. Aku mencoba untuk memberanikan diri sekali lagi bertanya kepada pemuda itu.

“Kenapa tadi kamu bilang kalau dia adalah wanita yang spesial untukmu?” tanyaku. Ku lihat dia menatapku sejenak, entah apa yang dia pikirkan tapi aku mencoba untuk menebaknya, sepertinya dia berpikir bahwa apakah tepat jika dia menceritakan tentang temannya kepada orang lain yang bahkan baru dikenalnya beberapa waktu yang lalu. Tapi, yang membuat aku tak habis pikir, ternyata dia mau untuk berbagi cerita kapadaku.

“Elsa adalah cinta pandangan pertamaku, aku bertemu dengannya saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, kami mendaftar di sekolah yang sama. Entah bagaimana bisa tapi kami selanjutnya menjadi lebih dekat setelah kami dipertemukan dalam satu regu saat Masa Orientasi Siswa. Saat itu, dia menjadi pemimpin kelompok untuk regu kami, hal itu sangat pantas karena dia memang memiliki background sebagai anggota Paskibra saat di SMP..” katanya. Ku lihat dia mencoba mengingat-ingat sesuatu, tapi hal itu cepat dilupakannya dan kembali melanjutkan ceritanya.

“Selama masa MOS itu berlangsung, aku terus mencoba untuk mendekati dia, saat sedang istirahat makan, aku memberanikan diri untuk bertanya siapa namanya, dari mana asal sekolahnya, dan aku bahkan bertanya kenapa dia memilih untuk mendaftar di sekolah ini. Dengan terus melepaskan senyuman, dia menjawab satu persatu pertanyaanku, dan hari itu, aku berhasil mengetahui namanya, Elsa Dava Selgia. ‘Nama yang benar-benar cantik, seperti orangnya’ pikirku waktu itu..” lanjutnya.

Pemuda itu kembali menghela napas panjang, lalu kembali ke dalam ceritanya.
“Waktu cepat berlalu, dan sekarang, kami sudah resmi menjadi siswa dan siswi SMAN 2 Bengkulu, setelah aku mengetahui ruang kelasku, aku langsung mencari ruang kelas wanita pujaanku itu, aku kembali ke papan pengumuman di dekat ruang guru, dan mencari satu-satunya nama yang ada dalam daftar teman baruku. Ku lihat daftar nama siswa yang diterima di SMA itu, mulai dari kelas X IPA A sampai X IPS C, ku perhatikan dengan teliti, dan berhenti mencari, karena aku telah menemukannya, “X IPA E.” kataku.

Perasaan sedih bercampur sedikit senang waktu itu, sedih karena tidak bisa satu kelas dengannya, sedikit senang karena mengetahui letak kelasnya berhadapan dengan kelasku. Letak kelas yang berdekatan membuatku sering berkunjung ke kelasnya, namun karena aku berpikir bahwa aku hanya pemuja rahasianya, jadi setiap kali aku masuk ke kelasnya, saat warga kelas bertanya, yang aku bilang hanya, ‘Aku ingin main bersama teman-teman SMP-ku dulu.’ padahal jelas sekali, meskipun akhirnya aku berkumpul dengan teman SMP-ku, tapi pandanganku tak pernah lepas dari gadis itu, Elsa.”

“Seperti kataku tadi, waktu cepat berlalu, hampir setiap hari ku gunakan waktu istirahat untuk pergi ke kelasnya, hanya untuk melihat apakah dia masuk sekolah atau tidak. Setiap paginya, aku tak pernah lupa untuk bersiap diri di depan kelas, kapan dia datang aku langsung menyapanya dan dibalas dengan senyumnya yang manis, itu cukup untuk membuatku tetap semangat menjalani hari-hari yang melelahkan selama jam pelajaran sekolah. Hari-hariku di sekolah tak pernah membosankan, karena setiap kali kebosanan merayap sekujur tubuhku, aku bisa saja setiap waktu menyapanya, dan melihat senyumnya yang indah bak mekarnya bunga mawar..”

Mendengar pemuda itu mengucapkan kata. “setiap kali aku melihat senyumnya, aku seperti mendapatkan semangatku kembali.” aku teringat dengan Adam, karena dalam menjalani suka duka hidupnya, Adam tak pernah mengecilkan senyum. Dan satu kalimat yang sampai sekarang selalu aku ingat yaitu dia pernah mengatakan padaku. “Teruslah tersenyum, karena setiap kali kamu tersenyum, satu masalah dalam hidupmu akan hilang.” Awan mulai menutupi matahari, dan menyamarkan sinarnya sehingga membuat udara terasa sejuk sekarang ini. Pemuda itu menyambung ceritanya yang tadi, entah mengapa dia berpikir dia harus menyelesaikan ceritanya, mungkin karena dia sudah merasa nyaman dengan kehadiranku sebagai telinganya di sini, terkaku.
“Satu tahun berlalu, sekarang kami lebih dekat dari sebelumnya, meskipun hingga saat ini aku belum mengatakan padanya perasaanku yang sesungguhnya. Teman-temanku yang satu kelas dengannya sudah mengetahui perasaan terpendamku pada gadis itu, mereka bisa melihat dari gelagatku yang selalu salah tingkah jika dekat dengannya, selain itu aku sering bengong, menatap ke arah gadis itu bahkan saat berkumpul dengan teman-temanku. Aku berpikir, cukuplah sebatas pemuja rahasia, tak perlu bermimpi untuk memiliki hubungan lebih jauh dengannya, karena aku sudah pasti bukanlah tipenya, meskipun belum bertanya langsung.”

“Dan sampai tangan Tuhan menjemputnya, aku tetap belum bisa mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Barulah saat ini, hari ini, aku memberanikan diriku, di hadapannya, aku bilang padanya, kalau aku sangat mengaguminya, aku sangat memimpikannya menjadi bagian dari hidupku, menjadi tulang rusukku, menjadi pelengkap hidupku selamanya. Aku bilang padanya, aku benar-benar telah jatuh cinta padanya, aku.. mencintainya.”

Dengan sedikit penekanan pada kata. “Jatuh Cinta”, pemuda itu mengakhiri ceritanya padaku. Aku tersenyum melihatnya, air mata kembali terjatuh membasahi pipinya, kali ini dia benar-benar tidak bisa membendung kesedihan, dia jatuh dalam tangis, aku memberikan sehelai tisu untuknya dan mengulang kata-kata sahabatku yang selalu berhasil menjadi motivasi baru bagiku, ku harap itu akan berpengaruh baginya juga.

“Hei, tersenyumlah, karena setiap kali kamu tersenyum satu masalah dalam hidupmu akan hilang..” kataku. Pemuda itu seperti membeku, dia menatapku seolah-olah dia menemukan sumber kekuatan baru, ku rasa sekarang dia tahu kalau sedari awal aku sudah mengerti perasaan yang dia rasakan.

“Mmm.. sepertinya hari sudah mendung, ayo kita pulang, biarkan mereka berdua istirahat di sini, dan Elsa, setidaknya tadi kamu sudah mengungkapkan semua perasaanmu padanya, aku yakin dia sekarang sangat bahagia, karena dia tahu bahwa ada seorang pemuda baik nan ramah yang sangat mencintainya dengan sepenuh hati..” kataku, “aku yakin itu.” Lanjutku.

Pemuda itu tersenyum penuh keikhlasan mendengar kata-kataku tadi, aku yakin sekarang dia menjadi lebih tabah dan kuat lagi, selain sebelumnya telah disemangati oleh gadis pujaannya, sekarang dia menjadi lebih ikhlas karena dia yakin bahwa balasan bagi gadis baik adalah surga, dan Elsa akan bahagia selamanya, di sana, di sisi Penciptanya. Pemuda itu dan aku berjabat tangan sebagai tanda bahwa kami sekarang sudah menjadi teman, dan sahabat, dan saudara. Aku berkata pada pemuda itu.

“Kamu bisa menceritakan semua perasaanmu kepadaku, aku akan selalu siap menjadi telingamu, kapan pun kamu butuh, aku akan selalu ada, karena kita adalah sahabat..” Kataku.

Pemuda itu mengangguk, dan tersenyum haru karena dia baru saja mendapatkan sahabat baru yang benar-benar mengerti perasaannya. Aku dan pemuda itu lalu beranjak pulang, tapi sebelum aku melangkah lebih jauh, pemuda itu memanggilku, “Hei, katakan siapa namamu?” tanyanya. Aku tersenyum sendiri mengingat kenapa bisa tadi aku sampai lupa untuk mengenalkan namaku padanya.

“Oh, iya, Namaku Abi, Abi Muhammad Dirga, panggil saja Abi..” jawabku.
“Dan, siapa namamu?” tanyaku balik.
Pemuda itu menjawab, “Namaku Ahmad Redho, tapi panggil saja aku Edho..” katanya.
“Baiklah, Abi, sampai jumpa lagi..” lanjutnya.
​
Aku seperti melihat Adam di dalam diri Edho, “Sampai jumpa lagi, Adam…” jawabku.
Kami berdua pulang ke rumah masing-masing segera setelah kami mengucapkan salam perpisahan tadi, aku tidak tahu kapan kami akan bertemu lagi, tapi yang aku tahu, Adamlah yang akan memanduku untuk bertemu dengannya lagi. Begitu pun dengannya, Elsalah yang akan memandunya untuk bertemu dengannya lagi.
Cerpen Karangan: Ahmad Redho
Comments

    Categories

    All

    RSS Feed

Produk Dikirim dengan tetap menjaga PRIVACY CUSTOMER kemasan rapi polos pada Jam/Hari Kerja. Melayani kiriman Dalam dan Luar Negeri Mekanisme pemesanan via sms/WhatsApp (0852-898-55836) order 24 Jam Non-Stop !
www.onherbalpria.com adalah website Resmi Milik Hadi Muljono, Marketing Resmi Produk Herbal Legal BPOM dan Sertifikasi HALAL MUI yang khusus promosikan dan distribusikan Produk Rekomendasi Boyke Dian Nugraha 

www.onherbalpria.com © COPYRIGHT 2021. ALL RIGHTS RESERVED.

  • PRODUK HERBAL PRIA
    • LAFORTA
    • efek samping laforta
    • Khasiat Laforta
    • FOREDI >
      • Cara Pakai Foredi
      • Testimoni Foredi
    • Manfaat Foredi
    • EFEK SAMPING FOREDI
    • Harga Foredi
  • Produk Wanita
  • Contact Us
    • Foredigel
  • Obat Kuat Pria
  • Layanan GOJEK
  • Boyke Dian Nugraha